Pages

Ads 468x60px

Mengamalkan al Quran

Mengamalkannya

 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang sedemikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`” (Al-Baqarah: 45)



Dan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang menga-dakan perbaikan”. (Al-A`raf :170)



Dan firman-Nya:
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturun-kan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.(Al-Zumar: 55).



Dan firman-Nya:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemim-pin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-A`raf: 3).
Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam menafsirkan ayat: “Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya”, artinya: Mereka mengikuti Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya. Dan firman-Nya: “Bacalah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Al-Kitab dan tegakkanlah shalat”. Dan Allah berfirman:
“Aku hanya diperintah untuk menyembah Rabb (Tuhan) negeri ini (Mekkah) Yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nyalah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku terma-suk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al-Qur’an.” (An-Naml: 91-92).
Jadi, hakikat membaca (tilawah) di dalam ayat-ayat di atas adalah bacaan yang mutlak lagi sempurna, yaitu membaca lafazh dan maknanya sekaligus, karena membaca lafazh adalah bagian dari apa yang disebut dengan tilawah mutlak, sedangkan hakikat lafazh adalah ittiba` (mengikuti). Di dalam bahasa Arab diungkapkan: اُتْلُ أَثَرَ فُلاَنٍ artinya: ikutilah jejak si Anu. َتلَوْتُ أَثَرَهُ artinya: Aku menelusuri jejaknya dari belakang. Inilah makna yang semakna dengan firman Allah:
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَالقَمَرِ إِذَا تَلاَهَا
artinya: “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengikutinya.”



Maksudnya mengiringi matahari terbit setelah terbenam”, -sampai pada ungkapannya: Yang dimaksud adalah tilawah yang sebenarnya, yaitu membaca makna-nya dan mengamalkannya dengan mempercayai apa yang diberitakannya, melaksanakan perintah-perintah-nya dan menghindari larangan-larangannya serta menjadikannya sebagai imam (pemimpin), ke mana saja ia mengarahkanmu, maka kamu tunduk kepadanya. Jadi, membaca (tilawah) Al-Qur’an mencakup membaca lafazh dan maknanya”.


Membaca makna itu lebih mulia daripada mem-baca lafazhnya saja; dan orang-orang yang membaca makna Al-Qur’an itulah Ahlul Qur’an yang mendapatkan pujian di dunia dan akhirat, karena merekalah sebenar-nya pembaca dan pengikut Al-Qur’an yang sejati. (Selesai ungkapan Ibnu Qayyim.)


Perhatikanlah wahai saudaraku kaum beriman, sejarah hidup para pendahulu-pendahulu kita dan sejauh mana respon mereka dan kepatuhan mereka terhadap Kitabullah (Al-Qur’an), hendaklah anda mengamati pengaruh Al-Qur’an di dalam hati, prilaku dan realitas kehidupan mereka.


Berikut ini penulis menukil salah satu contoh dari Abu Dahdah Radhiallaahu anhu salah seorang sahabat Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang dinukil oleh Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya ketika ia menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245)



Tatkala ayat tersebut diturunkan, Abu Dahdah segera bersedekah dengan mengeluarkan hartanya semata-mata untuk mengharapkan pahala dari Allah. Zaid bin Aslam menuturkan: Ketika ayat:


 مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضَا حَسَنًا , Abu Dahdah bertanya: Sungguh tebusan mu adalah ayah dan ibuku ya Rasulullah! bahwa sesungguhnya Allah meminta pinjaman dari kita, padahal Dia sangat tidak membutuhkan pinjaman? Nabi menjawab: Ya, Dia ingin memasukkan kalian ke surga dengan pinjaman itu. Abu Dahdah berkata: Kalau sekiranya aku meminjamkan suatu pinjaman kepada Tuhan-ku, apakah Dia pasti memberikan jaminan surga bagiku dan bagi anakku Dahdahah? Jawab Nabi: Ya. Lalu Abu Dahdah berkata: Jika begitu, maka ulurkanlah tanganmu kepadaku. Maka Rasulullah pun melaku-kannya, kemudian Abu Dahdah berkata: “Sesungguhnya aku memiliki dua bidang kebun, yang satu ada di kampung Safilah dan yang satu lagi ada di kampung `Aliyah; demi Allah hanya itu yang aku miliki, dan aku telah berbulat hati untuk meminjamkannya kepada Allah”. Rasulullah bersabda: “Salah satunya saja engkau pinjamkan kepada Allah, dan yang satu lagi untuk keperluan hidupmu dan keluargamu. Abu Dahdah berkata: “Jika begitu, maka aku menjadikan engkau sebagai saksi, ya Rasulullah, bahwasanya yang paling baik dari kedua kebunku itu yang aku pinjamkan kepada Allah, yaitu kebun yang berisikan 600 pohon kurma”. lalu Rasulullah bersabda: “Jika begitu, Allah pasti memberikan balasannya surga”. Lalu Abu Dahdah pulang menjumpai istrinya Ummi Dahdah yang sedang berada di kebun bersama anak-anaknya bernaung di bawah pohon kurma; Abu Dahdah berkata:
“Tuhanku telah menunjukkanmu ke jalan yang lurus, yaitu jalan kebaikan dan kebenaran;
Aku telah menjadikan kebun yang ada di Wadad sebagai pinjaman untuk selama-lamanya.



Aku telah meminjamkannya kepada Allah dengan setulus hati, bukan karena ingin pujian atau sanjungan melainkan harapan balasan berlipat ganda di akhirat kelak. Maka berpindahlah engkau (wahai istriku dari sini) bersama anak-anak.


Kebajikan itu –tidak diragukan lagi- adalah sebaik-baik bekal yang dipersiapkan seseorang menuju akhi-rat”.
Lalu Ummi Dahdah menyahut seraya berkata: “Beruntunglah penjualanmu! Semoga Allah selalu mem-berkahi apa yang engkau beli”. Kemudian Ummu Dahdah menjawab dengan mengatakan:
“Allah telah mengabarkan berita kebaikan dan kegem-biraan bagimu, orang sepertimu telah mengorbankan apa yang dimiliki dan juga nasihat”.



Sungguh Allah telah memberikan kenikmatan kepada keluargaku dan mengaruniakan berbagai buah kurma yang terbaik dan yang segar.
Hamba hanyalah berusaha dan ia pasti mendapat hasil jerih payahnya sepanjang malam dan ia akan menang-gung resiko dari kesalahannya”.
Kemudian Ummu Dahdah menemui anak-anaknya dan mengeluarkan segala apa yang di dalam mulut mereka dan yang di dalam bungkusan-bungkusan mereka serta membawa mereka ke kebun yang satunya. Maka Nabi bersabda: ”Betapa banyak pohon kurma dan rumah andal milik Abu Dahdah”.



Berikutnya, wahai saudaraku sesama muslim, mengapa kita tidak mengikuti jejak para pendahulu kita (salaf shalih) dan menjadikan Kitabullah sebagai Jalan Kehidupan. Segeralah mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam ayat-ayat yang memerintah dan melarang, menganjurkan dan memperingatkan, yang di antaranya adalah:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu menghardik mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.(Al-Isra’: 23)



Mengapa kita tidak merenungkan ayat ini dan melakukan muhasabah (introspeksi diri) terhadap diri kita di dalam berbakti kepada kedua orang tua kita; hingga jika kita telah berbuat baik kepada mereka maka kita bersyukur dan memuji kepada Allah serta memohon pertolongan dan (apa yang telah kita lakukan itu) diterima di sisi-Nya. Dan jika kita dapati diri kita lalai, maka segera bertobat kepada Allah, selalu memohon ampunan-Nya dan segera berbuat baik kepada kedua orang tua kita serta meminta ma`af kepada mereka.
Mengapa kita tidak merenungkan firman Allah:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?”. (Muham-mad: 22).



Mari kita lihat hubungan kita dengan keluarga kita, apakah kita telah menunaikan kewajiban kita terhadap mereka, seperti menjalin hubungan, berbuat baik, mema`afkan kesalahan mereka? Ataukah kita termasuk orang yang tidak mengenal keluarga dan kerabat dekatnya kecuali di saat terdesak dan tidak tahu-menahu di saat terjadi kekeliruan, sementara dengan orang-orang kaya dan para pejabat ia dekat?!


Bagaimanakah sikap kita di kala kita membaca firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah keba-nyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka itulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Al-Hujurat: 12).
Apakah kita selalu berbaik sangka terhadap saudara-saudara kita kaum muslimin dan memahami perbuatan dan perkataan mereka sebaik-baiknya, kita jaga lisan kita dari keterjerumusan di dalam mem-bicarakan kehormatan mereka? Penulis berharap semoga kita tergolong orang-orang yang menjauhi larangan Allah. Maka bertaqwalah kepada Allah di dalam masalah mereka dan keluarga mereka.



Itu hanyalah sekedar beberapa contoh dan renu-ngan terhadap beberapa ayat, penulis ingin mengingat-kan diri sendiri dan saudara-saudaraku agar berintrospeksi(muhasabah) diri sebelum kita dihisab dan sebe-lum azab menimpa kita. Penulis akan menutup bahasan ini dengan penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat “Zhann” di atas dimana beliau mengatakan: “Allah berfirman seraya melarang para hamba-Nya yang beriman untuk melakukan banyak prasangka – yaitu tuduhan dan dugaan terhadap keluarga, kerabat dan manusia lainnya yang bukan pada tempatnya, karena sebagian prasangka itu adalah dosa belaka, maka kebanyakan prasangka itu harus dihindari sebagai sikap hati-hati. Dan ada riwayat dari Amirul mu`minin Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu bahwasanya ia berkata: Jangan sekali-kali kamu berprasangka dengan sebab satu kata yang keluar dari mulut saudaramu yang seiman selain prasangka baik, sedangkan kamu masih mempunyai interpretasi baik padanya”. Malik meriwayatkan dari Abuz Zinad dari Al-A`raj dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia menuturkan : Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:


إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإٍنَّ الظَنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلاَتَحَسَّسُوْا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا (رواه البخاري)


“Hindarilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta, dan janganlah kamu memata-matai dan jangan pula mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling berlomba, jangan saling dengki, jangan saling bermusuhan, jangan saling membelakangi, akan tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara”. (HR. Al-Bukhari).
Dari Anas Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: Janganlah kamu saling memutus hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling dengki, tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim tidak menegur saudara lebih dari tiga hari. (HR. Muslim).
Dan firman Allah “wa laa yaghtab ba`dhukum ba`dhan” mengandung larangan berbuat ghibah (meng-gunjing), dan ghibah tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam di dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata:



قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ذِكْرُكَ أَخَاهُ بِمَا يَكْرَهُ ، قِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ صلى الله عليه وسلم : إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه الترمدي)


“Rasulullah ditanya: Apa ghibah itu? Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menjawab: Kamu menyebut-nyebut tentang sauda-ramu apa yang ia tidak suka. Nabi ditanya: Jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada saudaraku? Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam menjawab: Jika apa yang kamu katakan itu benar-benar ada padanya maka kamu telah berbuat ghibah (menggunjing), dan jika padanya tidak ada apa yang kamu katakan, maka kamu telah berdusta”. (HR. At-Tirmidzi)
Dari Aisyah ia pernah berkata kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam : Shafiyah itu begini dan begitu. Ia menuturkan: Orangnya pendek. Maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Kamu telah menga-takan suatu ucapan yang sekiranya dicampur dengan air laut niscaya ucapan itu akan mewarnainya”. Aisyah berkata: Pernah aku ceritakan kepada beliau tentang seseorang. Maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Aku sama sekali tidak suka kalau aku engkau ceritai tentang seseorang, sementara aku masih begini dan begitu”. (HR. At-Turmudzi dari Yahya Al-Qaththan dan Abdurrahman).


No comments:

Post a Comment

Assalamualaikum.. Temen2 jangan lupa Komentar na ^_^