Kesultanan Banjar (berdiri 1520, masuk Islam 24 September  1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian  berakhir 24 Januari 1905) adalah 
kesultanan  yang terdapat di 
Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula beribukota di 
Banjarmasin kemudian dipindahkan ke 
Martapura  dan sekitarnya (
kabupaten Banjar). Ketika beribukota di  Martapura disebut juga 
Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di 
Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut 
Kesultanan  Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari 
Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang  beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan 
Daha Selatan, Hulu Sungai  Selatan.
Menurut mitologi suku Maanyan suku tertua di Kalimantan Selatan  kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah  kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah  Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa  keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya  mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan  dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Jawa  (Majapahit)
[4]  sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku  Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini  adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996,  telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang  menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan  Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan  Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan  dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut 
Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan  raja-raja Banjar adalah Sang Dewa (Sadewa) bersaudara dengan wangsa yang  menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali, raja-raja Gowa  (Makassar) yang terdiri lima bersaudara putera Maharaja Pandu Dewata  yaitu Darmawangsa (nama lain 
Yudhistira sebagai titisan Batara Darma), Sang  Arjuna, Sang Bima, Sang Dewa, Sang Kula (Nakula).
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan  telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang  terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam 
Hindia Belanda sejak 
11 Juni 1860, yaitu :
- Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
 
- Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
 
- Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
 
- Keraton III disebut Kesultanan Banjar
 
- Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
 
- Keraton V disebut Pagustian
 
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya  adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan  Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari  Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden  Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi  sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi  dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra  Sukarama menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran  Tumenggung yang juga putra Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat  raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat  pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia berhasil lolos  ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala  Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya  melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar  perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran  Tumenggung, raja terakhir 
Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia  kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih.  Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan dari  daerah pesisir Kalimantan dan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan  kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan  Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke 
daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.