Pages

Ads 468x60px

Qurban dalam Perspektif Hukum Islam

PELAKSANAAN QURBAN  DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Historisitas Idul Kurban
Syariat kurban di mulai dari peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim, yakni ketika para malaikat yang dipelopori Jibril bertanya pada Allah: Ya Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah (Kekasih Allah) kepada Ibrahim, padahal ia sibuk dengan kekayaan dan keluarganya? Dengan demikian, bagaimana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah? Allah menjawab: Jangan kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena tiada di hatinya rasa cinta selain kepadaKu. Bila kalian ingin menguji, ujilah ia, Lalu malaikat Jibril mengujinya yang ternyata memang terbukti bahwa kekayaan dan keluarganya sedikit pun tidak mernbuat dirinya lalai dalam mengabdi kepada Allah.
Kemudian Allah mengujinya dengan perintah menyembelih putranya (Ismail). Walaupun perintah tersebut hanya melalui mimpi (ru'yah shadiqah), dengan ketabahan, ketulusan dan tawakal beliau (Ibrahim) menerima perintah tersebut sebagaimana terungkap dalam surat Al-Shaffat: 102-105).

102-105
Ketulusannya tampak dari keberaniaan untuk tetap melaksanakan kurban. Walaupun setan dan iblis selalu berusaha menggodanya, namun beliau malahan melemparinya dengan batu batu kecil, yang akhirnya termasuk dalam rangkaian prosesi pelaksanaan ibadah haji yang di saat Idul Kurban, yang terkenal dengan melempar jumroh. Menyaksikan peristiwa yang menghiraukan itu, malaikat Jibril kagum seraya mengucapkan takbir, sehingga sekarang tertradisikan takbiran itu.
            Tradisi qurban menurut catatan sejarah telah ada sejak masa pra-Islam. Kurban dilakukall atas nama Tuhan dengan cara menyiramkan darahnya ke dinding Ka'bah dan dagingnya dilempar ke depan pintu. Karena mereka berasumsi Tuhan memang membutuhkannya. Sehingga ini terkesan dan mirip dengan persembahan (offerings) sebagiamana perilaku umat agama lain yang mempunyai tujuan agar Tuhan tidak marah dan murka atau untuk menebus dosa. Namun dalam Islam, ibadah kurban bukanlah sekedar mengalirkan darah hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada. fakir miskin, tetapi juga memiliki nilai dan makna rohaniah yang sangat dalam dan dampak sosial yang sangat besar. Sebagaimana platform Allah dalam surat ai-Hajj ayat 37:

Artinya:

Daging-daging uma dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

            Iedul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah swt bagi ummat Muhammad saw. Hal ini diterangkan dalam hadits: Anas radiyallahu’anhu, beliau berkata: Nabi shallallhu alaihi wa sallam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya (tahun baru dan hari pemuda/aunul mabud), maka (beliau) bersabda:
            ”Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersuka ria padanya di masa jahiliyyah, kemudian Allah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari ledul Qurban dan hari ledul Fitri." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan AlBaghawi, shahih, lihat Ahkamul Iedain hal. 8).
            Selain itu, pada Hari Raya Qurban terdapat ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah, yaitu shalat Ied dan menyembelih hewan kurban. Insyallah pada kesempatan kali ini kami akan menjelaskan beberapa hukum-hukum yang berkaitan dengan Iedul Qurban, agar kita bisa melaksanakan ibadah besar ini dengan disertai ilmu.

B. Hukum Menyembelih Kurban
            Para Ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Sedangkan menurut pendapat yang kuat hukumnya adalah wajib bagi yang memiliki kemampuan (Ahkamul Iedain hal 26). Di antara hadits yang dijadikan dalil bagi ulama yang mewajibkan lalah:
"Dari Abi Hurairah radliyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa memiliki kelapangan (kemampuan) kemudian tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat led kami." (HR. Alunad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, AI-Hakim, sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 26).
Dari hadits di atas diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk mendekati tempat shalat Ied bagi orang yang memiliki kemampuan akan tetapi tidak berqurban. Hal itu menunjukkan bahwasanya dia telah meninggalkan suatu kewajiban yang seakan-akan tidak ada manfaatnya, bertaqarrub kepada Allah dengan dia meninggalkan kewajiban itu (Subulus Salam 4/169).
Syarat-Syarat Penyembelihan Menurut Syara' :
            Penyembelihan menurut syara' yang dimaksud, hanya bisa sempurna jika terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat yang tajam yang dapat mengalirkan' darah dan mencabut nyawa binatang tersebut, baik alat itu berupa batu ataupun kayu.
'Adi bin Hatim ath-Thai pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: "Ya Rasulullah! Kami berburu dan menangkap seekor binatang, tetapi waktu itu kami tidak mempunyai pisau, hanya batu tajam dan belahan tongkat yang kami miliki, dapatkah itu kami pakai untuk menyembelih?" Maka jawab Nabi:
"Alirkanlah darahnya dengan apa saja yang kamu suka, dan sebutlah nama Allah atasnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim dan lbnu Hibban)
2. Penyembelihan atau penusukan (nahr) itu harus dilakukan di leher binatang tersebut, yaitu: bahwa kematian binatang tersebut justru sebagai akibat dari terputusnya urat nadi atau kerongkongannya.
            Penyembelihan yang paling sempurna, yaitu terputusnya kerongkongan, tenggorokan dan urat nadi.
            Persyaratan ini dapat gugur apabila pcnyembelihan itu ternyata tidak dapat dilakukan pada tempatnya yang khas, misalnya karena binatang tersebut jatuh dalam sumur, sedang kepalanya berada di bawah yang tidalk mungkin lehernya itu dapat dipotong; atau karena binatang tersebut menentang sifat kejinakannya. Waktu itu boleh diperlakukan seperti buronan yang cukup dilukai dengan alat yang tajam di bagian manapun yang mungkin.
Raafi' bin Khadij menceriterakan:
"Kami pernah bersama Nabi dalam suatu bepergian, kemudianl ada seekor unta milik orang kampung melarikan diri, sedang mereka tidak mempunyai kuda untuk mengejar, maka ada seorang laki-laki yang melemparnya dengun panah. Kemudian bersabdalah Nabi: 'Binatang ini mempunyai silat primitif seperti primitifnya binatang biadab (liar), oleh karena itu apa saja yang dapat dikerjakan. kerjakanlah; begitulah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Tidak disebut selain asma' Allah; dan ini sudah disepakati oleh semua ulama. Sebab orang-orang jahiliah bertaqarrub kepada Tuhan dan berhalanya dengan cara menyembelih binatan yang ada kalanya mereka sebut berhala-berhala itu ketika menyembelih, dan ada kalanya penyembelihannya itu diperuntukkan kepada sesuatu berhala tertentu. Untuk itulah maka al-Quran melarangnya yaitu sebagaimana disebutkan dalam firma:mya:Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu penyembelihnya, dan (diharamkanbagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dedgan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Maidah: 3)

4 Harus disebutnya nama Allah (membaca bismillah) ketika menyembelih. Ini menurut zahir nas al-Quran:
"Makanlah dari apa-apa yang disebut asma' Allah atasnya, jika kamu benar-benar beriman kepada ayat-ayatNya." (al-An'am:118)
"Dan janganlah kamu makan dari apa-apa yang tidak disebut asma' Allah atasnya, karena sesungguhnya dia itu suatu kedurhakaan." (al-An'am: 121)
            Sabda Rasu1ullah s.a.w.: Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut asma' Allah atasnya, maka makanlah dia." (Riwayat Bukhari)
            Di antara yang memperkuat persyaratan ini, ialah beberapa hadis shahih yang mengharuskan menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah atau anjing berburu, sebagaimana akan diterangkan nanti. Sementara ulama ada juga yang berpendapat bahwa menyebut asma' Allah itu sudah menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika menyembelihnya itu. Bisa juga dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan itu telah disebutnya asma' Allah bukanlah berarti dia makan sesuatu yang disembelih dengan tidak disebut asma' Allah. Karena sesuai dengan ceritera Aisyah, bahwa ada beberapa orang yang baru masuk Islam menanyakan kepada Rasulullah:

"Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka itu menyebut asma' Allah atau tidak? Dan apakah kami boleh makan daripadanya atau tidak? Maka jawab Nabi: 'Sebutlah asma Allah dan makanlah.'" (Riwayat Bukhari)

D. Waktu Menyembelih
Hewan kurban' disembelih setelah selesai shalat led.
Dalilnya:
Dari Barra bin Azib ra, ia berkata: Rasulullah sw bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita mulai pacta hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. Dan barang siapa yang te!ah menyembelih (sebelum Sha1at), maka sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi keluarganya, bukan termasuk hewan kurban sedikitpun." (HR. Muslim no. 1961).
            Diperbolehkan untuk mengakhirkan penyembelihan, yaitu menyembelih pada hari kedua dan ketiga setelah hari Ied. Sebagaimana diterangkan dalam hadits:
"Dari Nabi shallallahu alai wa sallam bahwasanya beliau bersabda setiap hari tasyriq ada sembelihan." (HR. Ahmad 4/8 dari Jubair bin Muthim radiallahuanhu, dan dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ahkamul Iedain ).
            Berkata Ibnul Qayyim (Kebolehan menyembelih di hari-hari tasyriq) adalah pendapat: Imam Ahmad, Malik, Abu Hanifah rahimahumullah ."
            Imam Ahmad berkata: "Ini adalah pendapat lebih dari satu shahabat Muhammad shallallahu alai wa salam, dan AI-Atsram menyebutkan diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abas radialiahu anhum. (Zadul Maad 2/319).

E. Tempat Menyembelih
            Dalam rangka menerapkkan syiar Islam dan kaum muslimin, disunnahkan menyembelih di lapangan tempat shalat Ied. Dalilnya:
"Dari lbnu Umar ra dari Nabi saw: bahwasanya beliau menyembelih (kibas dan unta) dilapangan Ied." (HR. Bukhari No. 5552 dengan Fathul Bari).

F. Larangan Memotong Rambut dan Kuku
            Barang siapa hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat red. Dalilnya:
"Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong, pent) rambut dan kukunya." (HR. Muslim No. 1977).
            Imam Nawawi berkata: "Maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacanmya, memotong rambut, baik gundul, memendekkan rambut, mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan (Syarah Muslim 13/138)."
Berkata Ibnu Qudamah: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (Al Mughnil 1/96)."
            Dari keterangan di atas maka larangan tersebut menunjukkan haram. Demikian pendapat Said bin Musayyib, Rabiah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian Madzhab Syafiiyah. Dan hal itu dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar juz 5 ha1. 112 dan Syaikh Ali hasan dalam Ahkamul Iedain hal. 74). .

G. Jenis Sembelihan.
"Dari Jabir, berkata: Rasulullah. saw bersabda: janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih Al-Jazaah (HR. Muslim 6/72 dan Abu Daud 2797).
Syaikh Al-Albani menerangkan:
-         Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau kibas. Umur kambing adalah ketika masuk tahun ketiga, sedangkan unta, masuk tahun keenam.
-         Al-jadzaah yaitu yaitu kambing atau kibas yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama (Silsilah Ad-Dlaifah 1/160).
            Dari yang terbaik dari jenis sembelihan tadi adalah kibas jantan bertanduk bagus, warna putih bercampur hitam di sekitar mata dan kakinya. Yang demikian karena termasuk sifat-sifat yang disunnahkan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan beliau menyembelih hewan yang memiliki sifat tersebut.
            "Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah saw memerimanKau menyembelih kibas yang bertanduk. baik, dan sekitar kaki, perut dan matanya berwarna hitam. Kemudian didatangkan kepada beliau, lalu disembelih” (HR. Abu Daud, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Abu Daud No. 2423).

H. Hewan kurban Tidak Cacat
            Termasuk tuntunan Nabi shallalahu alaihi wa sallam yaitu memilih hewan yang selamat dari cacat dan memilih yang terbaik. Seliau melarang menyembelih hewan yang terputus telinganya, terpecah tanduknya, matanya pece, terputus bagian depan atau belakang telinganya, terbelah atau terkoyak telinganya. Adapun kibas yang dikebiri boleh untuk disembelih. (Ahkamul Iedain ha1.75)  

1. Boleh Berserikat
" Satu ekor hewan kurban boleh diniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya meskipun dalam jumlah yang banyak.
Dalilnya: "Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah saw, beliau menjawab: jika seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi dan sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 76).
            "Dari lbnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1213).

J. Cara Menyembelih  

            Menyembelih dengan pisau yang tajam, mengucapkan bismiliah wallahu akbar, membaringkan sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya. dan menahan lehernya dengan tangan kiri. Dalilnya:
"Dari Anas bin Malik, dia bcrkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor kibasnya yang bagus dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya di samping lehernya. "(HR, Bukhari, Muslim dan lainnya).
            Dan disunnahkan bagi yang berkorban, memotong sendiri sembeIihannya atau mewakilkan kepada orang lain (Ahkamul Iedain ha1. 77).

K. Membagikan Daging Kurban
            Bagi yang menyembelih disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpannya untuk perbekalan lebih dari 3 hari. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
            "Makanlah, simpanlah untuk perbekalan dan bershadaqahlah" (HR.Bukhari Muslim).
            Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari kurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapar jumhur ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging kurban. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari berkurban, dalilnya:
- Dan Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagi dagingnya, Kulitnya. dan alat-alat untuk mclindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari kurban tersebut. (HR. Bukhari Muslim).

L. Bagi Yang Tidak Berkurban
            Kaum muslimin yang tidak mampu untuk berkorban, mereka akan mendapatkan pahala seperti halnya orang yang berkorban dari umat Muhammad saw. Hal ini diterangkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Bismillah Wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak menyembelih." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 2436).

M. Makna kontreks Idul Kurban
            Dalam Islam, ibadah kurban mengandung dua dimensi:
Pertama: Dimensi spiritual-transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah. Sehingga melakukan kurban (dalam arti yang lebih luas) semestinya tidak hanya pada saat Idul Adha. Melainkan di setiap saat kita harus dapat mengurbankan apa yang kita miliki scbagai upaya taqarrub kita kepada Allah. Sifat demikian, secara konkrit mempunyai dampak positif horisontal yakni terpenuhinya kesejahteraan sosial.
Kedua: Demensi sosial humanis yang nampak dengan prinsip pendistribusian hewan kurban pada mereka yang berhak (mustahiq). Namun demensi ini akan bernilai manakala di sertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui melakukari kurban dalam bingkai niat karena Allah, mampu mengaplikasikan solidaritas sosial. lni berarti pendistribusian daging kepada yang berhak yakni fakir miskin mengandung makna dan nilai upaya pengentasan mereka ke dalam taraf hidup yang lebih baik, termasuk pengentasan mereka korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan sekitarnya. Karena pendistribusian tersebut merupakan bukti konkrit kepedulian kepada para fakir miskin sebagai solidaritas sosial.
            Apalagi secara psikologis simbolis, ibadah kurban melambangkan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperti kejam, serakah, dan egois, yang perlu dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya pemenuhan panggilan dan perintah Allah.
            Sehingga darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat kita insyaf, bahwa hewan saja rela berkorban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka sewajarnyalah jika manusia semestinya mau berkorban di jalan Allah, yang kekuasaan-Nya jelas lebih besar dibandirig kekuasaan manusia.

            Oleh karena itu, pemaknaan ibadah kurban kiranya menjadi sangat perlu dikontekstualisasikan dalam rangka mencapai tujuan pensyariatan Islam (maqashidus syari'ah) yakni tercapainya kemaslahatan dunia akhirat (lihat Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam Fi Mashalihul Anam). Karena tiada tujuan pensyariatan dalam Islam termasuk ibadah kurban selain dalam upaya pencapaian kemaslahatan dunia dan dan akhirat. Oalam kaitan ini, kontekstualisasi ibadah kurban dipandang sangat perlu, agar tidak menjadi out of date, di samping upaya pencapaian tujuan adanya syariat Islam yakni kemaslahatan dunia akhirat.
            Dengan demikian, refleksi komitmen sosial yang ada dalam ibadah kurban, tampaknya sudah tidak relevan lagi bila tetap dicerminkan dengan format pendistribusian daging semata. Artinya objek dari pengorbanan itu seharusnya tidak sebatas pada daging hewan kurban saja, tetapi meliputi apa saja yang menjadi rintangan dalam amar ma'ruf nahi munkar yang berdemensi sosial sehingga Kurban tidak hanya dalam nuansa ibadah mahdah, namun juga dalam naunsa sosial. Ini sejalan dengan pemahaman Imam Al-Ghazali daIam karya monumentalnya Ihya' Ulumuddin bahwa makna luhur ibadah kurban menurutnya adalah terdistribusikannya nilai-nilai humanis (kemanusiaan) secara universal bukan sekedar distribusi daging.
            Saat banyak di antara kita yang menjadi karban bencana gempa dan tsunami, ibadah kurban tampaknya bam tepat guna, tepat sasaran, tepat makna, manakala terformat dalam materimateri yang sangat dibutuhkan (kebutuhan primer) semacam kebutuhan sembako, dana perbaikan tempat tinggal dan peminjaman modal usaha pascabencana. Atau paling tidak penyaluran dana hewan kurban kepada pihak-pihak yang membuka pos-pos peduli bencana. lni semua memang menjadi kebutuhan mendesak bagi mereka yang tertimpa bencana apalagi di saat negara yang masih krisis ekonomi. Kalau hanya saklek pada format pendistribusian daging dalam ibadah kurban di saat-saat banyak korban seperti saat ini, menjadi sangat muspro (tidak berguna) dan terjebak dalam perbuatan isyraf (berlebih-lebihan) yang tidak dikehendaki syariat Islam. Ini pun tidak relevan adanya pensyariatan (maqashidus syari'ah) ibadah kurban yakni pendistribusian nilai-niIai humanis (kemanusiaan). OIeh karena itu, dalam konteks kekinian pemaknaan kurban akan lebih relevan dan applicable bilamana tertuju dalam tormat sesuai dengan kebutuhan riil sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan kita. Inilah makna kontekstual ibadah kurban sebenarnya.

sumber: http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/28

No comments:

Post a Comment

Assalamualaikum.. Temen2 jangan lupa Komentar na ^_^