Sesungguhnya Kesabaran, Sikap yang Baik dan menahan Amarah akan membawa manfaat yang baik.
Ambillah sebuah pelajaran dari cerita berikut ini, ______________________________________________________________ Dikisahkan bahwa ada seorang wanita tua yang sedang melintasi gurun
pasir dengan membawa beban barang bawaannya yang cukup berat. Wanita tua
itu tampaknya sangat kepayahan, namun demikian dia tetap berusaha untuk
membawa barang bawaannya dengan sekuat tenaga. Tidak lama kemudian tampak dari kejauhan, seorang laki-laki muda
dengan wajah yang sangat tampan datang menemui wanita tua itu. Laki-laki
itu menawarkan diri kepada wanita tua tersebut untuk membantu membawa
barang bawaannya dan wanita tua yang sedang kepayahan itu menerima
tawaran tersebut dengan segala senang hati. Kemudian laki-laki itu pun
mengangkat dan membawa barang bawaan wanita tua itu, lalu mereka
berjalan beriringan. Dalam perjalanan, wanita tua ini banyak bicara dan ternyata dia adalah seorang wanita yang senang berbicara.
“ Anak muda, senang sekali kamu mau membantu dan menemani saya dan saya sangat menghargainya ”, kata wanita itu. Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar ucapan wanita tua itu dan
kemudian wanita tua itu berkata lagi : “ Anak muda, selama kita berjalan
bersama, saya hanya punya satu permintaan untuk kamu. Janganlah kamu
sekali-kali berbicara apapun tentang Muhammad, karena gara-gara dia,
tidak ada lagi rasa damai dan saya merasa sangat terganggu dengan
pemikirannya. Jadi sekali lagi saya minta kepada kamu, jangan berbicara
apapun tentang Muhammad ”. Laki-laki itu kembali tersenyum dan dengan sabar dia terus
mendengarkan perkataan wanita tua itu. Wanita tua itu lalu melanjutkan
perkataannya lagi :
“ Muhammad itu benar-benar membuat saya kesal. Saya selalu mendengar
nama dan reputasinya kemanapun saya pergi. Dia dikenal berasal dari
keluarga dan suku yang terpercaya, akan tetapi tiba-tiba dia memecah
belah orang-orang dengan mengatakan bahwa Tuhan itu satu ”.
“ Dia menjerumuskan orang yang lemah, orang miskin dan budak-budak.
Orang-orang itu berpikir mereka akan dapat menemukan kekayaan dan
kebebasan dengan mengikuti jalannya. Dia merusak anak-anak muda dengan
memutarbalikkan kebenaran. Dia meyakinkan mereka bahwa mereka kuat dan
bahwa ada suatu tujuan yang bisa diraih. Jadi anak muda, jangan
sekali-kali kamu berbicara tentang Muhammad”, kata wanita tua itu lagi
dengan nada yang kesal.
Tidak lama kemudian setelah mereka berjalan, sampailah mereka di
tempat tujuan. Laki-laki itu lalu menurunkan barang bawaannya dan wanita
tua tersebut menatap laki-laki itu dengan senyumannya sambil berkata : “
Terima kasih banyak, anak muda. Kamu sangat baik. Kemurahan hati dan
senyuman kamu itu sangat jarang saya temukan. Biarkan saya memberi satu
nasihat untuk kamu, jauhi Muhammad!. Jangan pernah memikirkan
kata-katanya atau mengikuti jalannya. Kalau kamu lakukan itu, maka kamu
tidak akan pernah mendapatkan ketenangan. Yang ada hanya masalah.” Laki-laki itu masih saja tersenyum ketika mendengarkan ucapan dan
nasehat dari wanita tua itu. Kemudian laki-laki itu mohon diri untuk
meninggalkan wanita tua itu, namun pada saat laki-laki itu berbalik
menjauh, wanita itu menghentikannya : “ Maaf, sebelum kita berpisah,
bolehkah saya tahu siapa namamu, anak muda?”. Laki-laki itu kembali tersenyum kemudian dengan lembut memberitahukan
namanya dan ternyata wanita itu sangat terkejut ketika laki-laki itu
menyebutkan namanya.
“ Maaf, apa yang kamu bilang tadi? Kata-kata kamu tidak terdengar
jelas. Telinga saya semakin tua dan terkadang saya tidak bisa mendengar
dengan baik. Kelihatannya ada yang lucu, karena saya pikir tadi saya
mendengar kamu mengucapkan Muhammad ”. “ Iya, Saya Muhammad ”, laki-laki itu mengulang kata-katanya lagi
kepada wanita tua itu. Wanita tua itu terpaku memandangi Rasulullah SAW
dan tidak lama kemudian tiba-tiba meluncur kata-kata dari mulutnya :
“ Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya “. _____________________________________________________________
Subhanallah…Allahu Akbar….itulah Rasulullah SAW, betapa agung dan
mulianya pribadi beliau. Dengan kesabaran dan kewibawaannya yang luar
biasa, Rasulullah SAW sanggup mengubah hati seorang wanita tua yang
tadinya sangat membencinya, tapi kini menjadi sangat mencintainya hanya
dalam waktu yang singkat.
Allahumma Sholli ‘ala Muhammad Wa’ala Ali Muhammad
H.Abdusshamad Bakumpai bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan pada tanggal 24 Dzulqa'idah 1237H
bertepatan dengan tanggal 12 Agustus 1822 M di Kampung Penghulu Tengah
Marabahan dari seorang ibu Sholehah yang bernama Samayah binti
Sumandi,seperti cucu cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masa kecil
berlimpahan ilmu dari keluarganya hingga ketika dewasa ia cuma belajar
dengan orang tuanya sendiri yang sangat alim,tapi setelah dirasa cukup
barulah ia dikirim kepada pamannya di dikampung Dalam Pagar
Martapura,setelah beberapa tahu di Martapura iapun kembali ke Marabahan
untuk mengemban misi dan menyebarkan ajaran Islam keberbagai pelosok
daerah sekitarnya,beliau kawin dengan seorang perempuan yang bernama
Siti Adawiyah binti Buris dan melahirkan 4 orang anak masing masing
bernama :
- Zainal Abidin
- Abdurrazak
- Abu Thalhah
- Siti Aisyah
Meskipun sudah mempunyai anak 4 orang namun hasrat beliau belajar ilmu
ilmu agama makin membara yang mana kemudian membawa beliau ke sumbernya
ilmu yakni ke Tanah Suci Mekkah,beliau berangkat dengan anaknya yang
bernama Abdurrazak,sedangkan anaknya yang bernama Abu Thalhah dibawa ke
Martapura oleh sepupu beliau H.Muhammad Thasin bin Mufti H.Jamaluddin
untuk dididik ilmu agama,setibanya di Mekkah beliau berumpa dngan
keponakan beliau yang bernama H.Jamaluddin bin H.Ahmad Kusyasyi yang
telah menimba ilmu sekitar 20 tahunan di Tanah Suci,adapun diantara guru
guru beliau waktu disana adalah:
Syekh Sulaiman al-Zuhdi an-Naqsyabandi (guru dalam ilmu hakikat
dan dari guru beliau inilah mendapatkan ijazah Tareqat Naqsyabandiyah
Qadiriyah)
Syekh Sulaiman Muhammad Sumbawa (salah seorang murid Maulana Syekh
Muhammad saleh Rais asy-Syafi'i Mufti Mekkah mendapatkan ijazah Thareqat
Syadziliyah)
Syekh Khatib Sambas
Setelah 8 tahun beliau beliau mengaji di Mekkah maka keluarlah ijin
dari guru gurunya agar mengajarkan ilmu ilmu ke masyarakat dikampung
halamannya,kemudian beliau menyampaikan hal ini kepada keponakannya
yakni H. Jamaluddin, betapa terkejutnya keponakan beliau ketika
mendengar hal ini,karena menurut hematnya pamannya ini belum lama
menuntut ilmu hingga belum banyak ilmu yang pamannya dapatkan di
Mekkah,ia kemudian berkata " Wahai paman..mengapakah paman ingin sekali
segera pulang,sedangkan paman baru 8 tahun berada disini,sedangkan
ananda yang sudah hampir 30 tahun belum terbersit untuk pulang
kampung,karena ananda merasa masih sedikit mempunyai ilmu " kata sang
keponakan.menurut riwayat setelah terjadi pembicaraan itu keduanya
bersama sama melaksanakan sholat berjamaah,selaku imam adalah Syekh
Abdush Shamad,pada saat Syekh Abdush Shamad mengangkt takbir maka
hilanglah jasadnya,namun ketika menjelang salam tampaklah kembali jasad
Syekh Abdush Shamad dihadapan keponakannya,sangatlah kaget dan heran
H.Jamaluddin melihat peristiwa ini akhirnya mengertilah ia akan keadaan
pamannya yang sudah mencapai maqam para Aulia,maka setelah sholat
selesai mereka berdua ber mudzakarah atau berbincang bincang tentang
ilmu agama,saat itulah beliau mengatakan bahwa guru guru Syekh Abdush
Shamad memberikan ilmu ilmu kepadanya tidak seperti layaknya orang orang
kebanyakan,namun dengan cara menumpahkan seluruh ilmunya kedadanya
(baluruk istilah bahasa banjar)sehingga dengan demikian ia dapat dengan
cepat menghimpun ilmu ilmu Syariat Thariqat Hakikat dan Ma'rifat dalam
waktu yang relatif singkat.
sepulang dari Tanah Suci beliau langsung pulang kekampung halamannya di
Marabahan,kemudian ia mengajarkan serta berdakwah di Marabahan dan
sekitarnya hingga ramailah para penuntut ilmu yang datang kepadanya dan
tak terhitung masyarakat suku Dayak disepanjang sungai Barito yang
akhirnya memeluk Islam dihadapan beliau,tak lupa beliau membangun sebuah
langgar dan pemondokan untuk para muridnya tak jauh dari
rumahnya,selain itu bliau juga mmbangun tempat khalwat dibelakang
rumahnya (sekarang menjadi tempat kubah maqamnya),setiap bulan Ramadhan
banyak berdatangan para ulama dari Martapura, Banjarmasin, Rantau dan
Hulu Sungai serta dari berbagai daerah untuk mempelajari ilmu Thareqat
serta ikut berkhalwat, pada akhirnya karena keluasan ilmu beliau maka
diangkatlah beliau menjadi Qadhi Bakumpai hingga masyur nama beliau
dipanggil Qadhi H.Abdush Shamad Bakumpai.
diantara murid murid beliau yang terkenal diwilayah itu adalah
- H.Syibawaihi (H.Bawai)
- H.Asqalani (salah satu keturunan beliau)
diantara isteri isteri bliau yang lain adalah
- Hj.Ayu binti Khalifah Hasanuddin (tidak dikarunia anak)
- dengan Arfiyah binti sailillah (juga tidak mempunyai keturunan)
- dengan Markamah mendapatkan anak:
1. Siti Hafsah
2. Siti Maimunah
3. Qadhi H.Jafri
Setelah beberapa lama mengajar,berkiprah meneruskan jejak langkah orang
tua dan kakeknya akhirnya pada malam Rabu 13 Syafar 1317 H / 22 Juni
1899 rohnya yang suci dipanggil yang Maha Kuasa dalam usia 80
tahun.Qadhi al-Mursyid fit Thariqah Haji Abdush Shamad Bakumpai
al-Banjari yang banyak jasanya menyebarkan islam kepada suku Dayak
dipesisir daerah aliran Sungai Barito di makamkan di Kampung Tengah
Marabahan.
kalau ada kekurangan dalam penyampaian riwayat ini alfaqir mohon maaf
ampun sebesar besarnya kepada saudaraku semua, wabillahi taufik wal
hidayah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DATU TUNGKARAN
Kisah Rakyat Matan Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari Datu Tungkaran atawa Datu Ingsat naya bagana di dairah Campaka,
Kabupatin Tanah Laut. Sidin ne tamasuk urang sakti mandraguna. Manurut
kisah urang tuha, sidin ne bisa bahilang, bajalan di atas banyu, wan
masih banyak lagi kaharatan sidin. Kisahnya, waktu itu imbah sumbahyang Juhur, datu ne kadatangan urang
matan Tanah Jawa. Datu juwa pang di daerahnya, sidin bangaran Datu
Mastanian. Sidin di Jawa jar habar banyak juwa beisi ilmu kasaktian nang
harat. “Assalamualaikum,” jar Datu Mastanian. “Waalaikum salam,” jar Datu Tungkaran manyahut. “Siapa ikam?” “Aku Datu Mastanian matan Tanah Jawa,” jar tamu ne. “Aku ne ka sini
handak mauji kasaktian pian. Jar habar, pian adalah urang nang paling
sakti di pintangan sini? Kaharatan pian sampai ka wadah kami,” jar Datu
Mastanian.
“Mun pian datang ka sini handak mauji kasaktian ulun, pian salah
alamat. Wan juwa mun ulun sakti, ilmu ulun kada gasan diadu atawa
diuji,” jar Datu Tungkaran barandah. “Pokoknya Datu harus bakalahi kasaktian wan aku hari ne juwa,” jar Datu Mastanian pina mamaksa. “Mun aku kada handak pang?”
“Aku kada pacangan bulik ka Tanah Jawa, aku hadangi di sini sampai
pian hakun baadu kasaktian wan aku,” jar Datu nang matan Jawa ne. “Bakalahi nang kaya apa nang ikam kahandaki?” jar Datu Tungkaran. “Kita baadu bahaharatan bapatak haja?” “Apa taruhannya?” jar Datu Tungkaran. “Mun aku kalah, maka aku siap jadi murid pian. Tapi mun aku manang, pian harus umpat aku ka Tanah Jawa.
“Ayuha, mun kaitu. Siapa nang badahulu bapatak?” jar Datu Tungkaran. “Aku!” jar datu nang matan Jawa ne. Imbah baucap kaitu, kada sawat bakijip mata Datu Tungkaran ne,
langsung hilang datu matan Jawa. Kada tahu ka mana hilangnya. Tapi
bangaran Datu Tungkaran ne sakti, imbah babacaan sidin ne manjulurakan
tangan ka tanah. Kada lawas, balah tanahnya. Sakalinya datu matan Jawa
ne bepatak di bawah tanah. Ahirnya katahuan nam.
“Siap-siap ikam, ne giliranku pulang.” Langsung hilang sidin ne matan pandangan mata Datu Mastanian. Kadada
nang tahu ka mana sidin. Datu Mastanian mancari di higa-higa awak,
bakuliling ka sana ka mari, kadada juwa tatamu. Sunyaan ilmu kasaktian
sidin dikaluarakan, sampai inya mancarii ka parut iwak, ka parut sapi,
ka parut kambing, wan parut sunyaan binatang, kadada tatamu juwa.
Imbah baharianan mancari, isuknya mancarii pulang, pukuknya habis dah
ilmu nang sidin beisi dikaluarakan, tatap haja kada tatamu. Ahirnya
datu matan Jawa ne manyarah kalah. “Ui Datu Tungkaran! Kaluar haja lagi ikam! Aku manyarah kalah nah,” jar Datu Mastanian. Imbah mandangar Datu Mastanian ne mangaku manyarah kalah, kaluar ai
Datu Tungkaran matan wadahnya bapatak. Kada jauh kada sidin ne bepatak,
di dalam parut Datu Mastanian. “Pantas haja pang aku kada tahaga mancari, sakalinya di sini pang pian bapatak,” jar Datu Mastanian sambil manjapai ka parut.
Ahirnya imbah marasa kalah, Datu Mastanian mambayari taruhan wan
janjinya maumpati Datu Tungakaran sabagai murid. Imbahtu Datu Tungkaran
malajari muridnya ne wan ilmu hakikat, supaya kaina bahagia hidup dunia
wan ahirat. Ilmu ngini juwa nang tarus dijajali ka Datu Mastanian supaya
ampih sumbung wan pangarasan
GUNUNG BATU BANGKAI
Cerita Rakyat Loksado, Kalimantan Selatan
Dikesahakan Beasa Oleh: Adum M. Sahriadi (Pambakal Sambang Lihum) Gunung Batu Bangkai ne andakannya di Kacamatan Loksado, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ngarannya pina anih pang, jar
masyarakat di sana jadi dingarani kayatu marga ada sabuting batu nang
mahirip wan bangkai manusia. Urang-urang di situ beisi kisah awal
pamulaan batu bangkai nentu. Jar urang, batu nentu mangisahakan saurang
pamudaan nang bangaran Andung Kuswara. Inya ne durhaka wan umanya.
Ahirnya Tuhan manjadiakan si Andung baubah jadi batu. Kisahnya mahirip
wan kisah Malin Kundang, matan banua Sumatra sana.
Bahari banar di Loksado ne hidup bibinian nang tuha wan anaknya nang
bangaran Andung Kuswara. Si Andung ne pamulaannya baik banar urangnya
wan juwa pintar batatamba. Inya beisian ilmu batatamba warisan abahnya
nang sudah maninggal. Andung wan umanya hidup rukun wan saling
manyayangi. Gawian Andung ne saban hari bacari kayu wan manabang haur
(bambu) ka hutan pakai diulah lanting gasan dijual ka pasar. Umanya
saban hari mancari babuahan wan pucuk-pucuk daun anum gasan diulah
sayur.
Takisah hari itu Andung ne tulak ka hutan bacari kayu. Kaasikan
bagawi, kabalujuran hari parak kadap, balakas ae Andung ne bulik.
Rahatan bulik, Andung ne mandangar urang bakuriak maminta tulungi.
Baparak ae Andung wan suara tadi, sakalinya ada kai-kai nang takapit
batisnya wan kayu. Lalu ditulungi Andung langsung diubati lukanya. Imbah
tu jar kai-kai tadi, “Tarima kasih banyak nak lah!” sambil sidin
meambil kangkalung di gulunya, “Diaku kada kawa mambari apa-apa salain
naini sabagai tarima kasih. Mudahan kangkalung ne mambawa barkah wan
kauntungan wan ikam!” jar kai tadi sambil manjulung kangkalung. Imbah
maubati kai tadi, badadas Andung bulik ka rumah napang hari pina
mangadap sanja.
Imbah sampai di rumah, Andung mangisahakan nang inya alami tadi wan
umanya. Imbah mangisahakan lalu Andung manjulung kangkalung tadi wan
umanya sambil baucap,”Uma, simpaniakan kangkalung ne baik-baik!” Umanya
mandam malihat kangkalung tu, “Tagasnya ne lain kangkalung kaya biasa.
Nak, lihati haratnya rupaannya!” Pina kagum umanya. Imbah tu sidin
meandak kangkalung tadi di bawah wadah paguringan sidin.
Singkat kisah, hari baganti hari, Andung ne pina taungut saurangan,
pina malamun haja. Di pikrannya inya mamikirakan masa depan isuk hari.
Tapi kayapa lagi mun dasar katurunan urang miskin. Taputar-putar utak
mamikirakan, kada lawas kapikiran handak tulak madam. “Hmm… kayapa mun
aku tulak madam haja,” jar Andung dalam hati. “Mun aku tulak madam, aku
kawa maamalakan ilmu pananambaku warisan abah bahari,” jar Andung pina
basumangat pulang. Kahandakannya tadi kada langsung dipadahakan wan
umanya. Andung masih bapikir, mun inya tulak madam kasian umanya
surangan juwa di rumah, tapi munnya kada tulak kada baubah nasib: tulak
ka hutan-manabang kayu-jual ka pasar- tukar
baras-masaki-makani-bakantut-bahira. Kaitu haja saban hari.
Hari baganti hari. Minggu baganti minggu. Andung ne pinanya kada
tahan lagi hidup miskin. Karaguannya maninggalakan umanya tulak madam
hilang kada babakas. Kahandakannya tulak madam kuat banar, lalu inya
bawani mamadahakan kahandakannya wan umanya. “Uma, Andung handak meubah
nasib kita. Andung sudah lawas mamikirakan wan sudah wani maambil
kaputusan gasan hidup. Andung handak tulak madam ka banua urang. Andung
minta ijin wan doa restu, Uma,” jar Andung nang pina bahati-hati banar
baucap. “Anakku, sabujurnya Umamu ne sudah basyukur banar wan kahidupan
nang ada kayani. Tapi mun kahandakan ikam kada kawa ditahan lagi,
tapaksa ae Uma maijinakan wan mambari restu ikam tulak madam,” jar
umanya sambil batitikan banyu mata.
Imbah dapat ijin wan doa restu umanya, Andung basiap-siap tulak. Inya
mambawa saraba sabuting, wan sasanguan saadanya. Rahatan Andung handak
tulak maninggalakan umanya wan gubuk nang pina tumbusan hatapnya, umanya
bapasan wan inya. “Andung …, ingatlilah wan Uma! Ingati kampung
sauarang, wan tanah padatuan kita. Jangan kada ingat wan Tuhan Nang
Mahakuasa. Kayapa haja baratnya hati, Uma kada kawa mamarahi ikam tulak
madam. Mun dasar takdir juwa, kita pacangan takumpulan pulang,” jar
umanya pina sadih banar.
Mandangar nasihat kuitannya, Andung kada tahan lagi, titikan banyu
mata sambil maikup umanya. “Andung, bawa ja kangkalung ne. Kalu ae kena
tapakai gasan ikam,” ujar Uma Andung baucap. Imbah manyambut kangkalung
julungan mamanya, Andung bapamitan sambil manciumi tangan umanya, lalu
umanya mambalasnya wan ragapan nang pisit. Sasaat, hari pina takang,
matahari kaya pajah, angin kaya ampih batiup, kaduanya hanyut wan
kaharuan. Babarapa titik banyu mata umanya gugur di bahu Andung. “Uma,
maapi Andung. Andung banyak-banyak minta rela. Andung bajanji mun sudah
bahasil, Andung bulik ka rumah kita,” jar Andung sambil malapas ragapan
umanya. “Capati tulak Andung, supaya ikam kada kamalaman di tangah
hutan.”
Andung mancium tangan umanya pulang, lalu bapamitan tulak. Andung
tulak diumpati lalambayan tangan umanya di muhara lawang, “Hati-hati
naklah, jangan kada ingat bulik,” kuriak umanya wan suara nang pina
basisigan. “Inggih, Ma ae!” sahut Andung sambil bajalan mangulih ke
umanya. Umanya Andung masih kagum kada baugah pada kadiaman asal walau
Andung sudah hilang kada kalihatan lagi. Matan wayah itu, umanya Andung
surangan ja lagi di hutan nang jauh pada kampung urang.
Bulan baganti bulan sudah Andung maninggalakan umanya. Andung tatap
bajalan. Banyak kampung wan negeri nang dilaluinya. Banyak pangalaman
nang didapat. Inya banyak manambai urang nang minta bantuannya. Rahatan siang nang pina panas manggarantang, sampailah Andung di
Karajaan Basiang nang pina sunyi. Rahatan maumpati jalanan kampung,
Andung tatamu saikung patani nang pina hibak kuring wan bisul di
awaknya. Balalu Andung manambai patani nintu. Matan patani nintu, Andung
tahu pada di Negeri Basiang lagi takana bancana panyakit kulit. Patani
nang bahutang budi wan Andung tadi balalu mambawai Andung bagana di
rumahnya. Satiap hari hibak rumah urang batatamba wan Andung. Sunyaan
panduduk ditambai ulih Andung, wan sunyaan wigas ampih garingnya.
Ahirnya sampai juwa barita kaharatan Andung ne ka saluruh nagari.
Barita kaharatan Andung ne sampai juwa wan talinga Raja Basiang. Sang
Raja lalu mautus hulubalang meambili Andung gasan manambai anak
bibiniannya nang kana panyakit. Kada lawas, datangai hulubalang nang
diutus tadi mambawa Andung ka istana. Andung nang miskin wan kampungan
nintu kagum malihat kaharatan bangunan istana. Inya bajalan sambil
maitihi satiap buncu istana nang dihiasi banda-banda nang kada suah
dilihatnya. Raja sudah ada di hadapannya. Andung lalu maucap salam dan
hormat kepada sang raja. “Salam sejahtera, Tuanku,” jar Andung wan
Baginda.
Sang Raja menyambut Andung. Raja lalu mamadahakan maksud
kahandakannya wan Andung. “Hai anak muda! Parlu ikam katahui, anakku
sudah dua minggu barabah garing kada badaya sama sakali. Sunyaan
pananamba sudah Diaku perintahkan manambai, kadada saikung-ikung nang
sanggup mawigasakan garingnya. Diaku baharap ikam kawa manambai anakku.
Kayapa, sanggup haja kah?” jar tuan raja batakun. “Hamba ne hanya
pangambara nang miskin. Pangatahuan ubat-ubatan ampun hamba masih
sadikit. Mun kenanya hamba kada sanggup mawigasakan Tuan Putri, hamba
mohon ampun Paduka,” jar Andung merendah.
Balalu Andung dibawai ka kamar anak raja. Anak raja barabah haja,
kadada daya barang sadikit. Muhanya kalas kaya baras, bibirnya tatup
rapat wan pina pacah-pacah. Walau kaitu tatap haja kalihatan cahaya
kabungasan wan kalangkaran tuan putri ne. “Aduhai, bubujuran bungas
banar Putri ne,” jar Andung dalam hati. Kada lawas, Andung mangaluarkan
sunyaan kabisaan inya mambanguni sang Putri. Tatap haja sang Putri kada
bagarak sama sakali. Andung talihat bingung. Nang kaya ada manggarakakan
tangan Andung, inya maambil kangkalung barian kai-kai nang suah
ditulunginya di hutan. Andung maminta wan argawai istana supaya
disiapakan banyu dalam mangkuk. Imbah disiapakan, lalu Andung marandam
kangkalungnya setumat. Lalu banyu randaman tadi diambil wan dibacai doa,
imbahtu jantik-jantikan ka muha putri. Kada lawas imbah tu, Putri tadi
tabangun. Matanya nang pina layu, bagamat-gamat tabuka. Kada lawas
muhanya langsung sigar. Ahirnya Putri kawa bangun wan duduk di
pambaringan.
Sunyaan panghuni istana himung kaarayan. Raja kada kawa baucap lagi
saking himungnya. Ahirnya sidin manikahakan Andung Kuswara wan anaknya.
Pista bakawinan digawi tujuh hari tujuh malam. Sunyaan rakyat umpat
kaarayan marayaakannya. Si putri pinanya bahagia banar manarima Andung
sabagai lakinya. Kaitu juwa Andung nang matan panambayan malihat tuan
putri langsung karindangan wan putri. Ahirnya kaduanya malalui hari hari
nang bahagia banar.
Kada sawat sapuluh ahad, ahirnya putri hamil. Si putri mangidam buah
kasturi (kulipisan) matan banua Borneo (Kalimantan). Marga cintanya
Andung wan bininya, lalu Andung mambawai hulubalang gasan mancari buah
nintu di Kalimantan. Sampai di Kalimantan tadangar habar buah nintu ada
di Loksado.
Imbah sampai di Loksado, takajut banar Andung, puhun kasturinya pas
banar baandak di muka rumahnya saurang. Bahancap-hancap Andung mambawai
buhan hulubalang wan prajurit bulikan. Inya kada hakun batamu wan
umanya.
Umanya nang sudah kalihatan kaya nene tuha, jalan gin pina ngalih,
mandangar pina ada suara ribut di luar, langsung ka luar manamui. “
“Andung…, Andung Anakku…!” suara nene tuha pina suak suara mangiyau
Andung. Sambil tabungkuk-bungkuk nene itu mangapung rumbungan Andung.
Andung mangulih ka balakang. Takajut inya malihat umanya nang dahulu
ditinggalakannya pina tuha banar wan bungkuk. Marga supan maakui uma,
Andung mamarahi, “Hai nene tuha! Diaku ne raja katurunan bangsawan.
Diaku kada tahu wan ikam nang pina bungkuk, pirut, wan rigat nang kaya
ikam,” jar Andung sambil bajalan maninggalakan umanya.
Asa tahambur hati umanya Andung imbah mandangar anaknya surang
mamarahi. Kada sadar lagi taucap doa, “Ya, Tuhan Nang Mahakuasa,
tampayakan kakuasaan wan kaadilan-Mu,” jar umanya Andung baucap wan
bibir nang bagatar. Baluman karing liur umanya Andung badoa, kada
bahalat kijipan mata, guntur, kilat, wan papatirnya babunyi
manyambar-nyambar. Kilat kada baampihan, langit langsung bakadap. Angin
daras banar, banyu nang kaya ditumpah matan lautan ka bumi. Kada lawas
Andung kuriak-kuriak, “Maapi ulun, Uma…!” Tapi bangaran siksa Tuhan kada
kawa dicabut lagi. Sakijipan mata pulang, awak Andung nang gagah beubah
jadi batu nang kaya bangkai manusia.
Matan nintu makanya bubuhan urang situ mangarani daerah nintu Gunung Batu Bangkai.