Pages

Ads 468x60px

Kisah A P I


Pada   zaman   dahulu  ada  seorang  yang  merenungkan  cara
bekerjanya   Alam,  dan  karena  ketekunan  dan   percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan  untuk  berkelana  dari
satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak
tentang penemuannya.

Nur  menyampaikan  rahasianya  itu   kepada   berbagai-bagai
kelompok   masyarakat.   Beberapa   di  antaranya  ada  yang
memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira
bahwa  ia  mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu
cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu  bagi
mereka.   Akhirnya,  sekelompok  orang  yang  menyaksikannya
memamerkan  cara  pembuatan  api  menjadi  begitu  ketakutan
sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin
bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar  tentang
api  telah  menyimpan  rahasia  itu untuk para pendeta, yang
tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara  rakyat
kedinginan.

Bangsa  kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa  yang  ketiga  memuja  patung  yang
menyerupai  Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang  keempat  tetap  menyimpan  kisah  api  dalam  kumpulan
dongengnya:  ada  yang  percaya, ada yang tidak. Bangsa yang
kelima  benar-benar  mempergunakan   api,   dan   itu   bisa
menghangatkan    mereka,   menanak   makanan   mereka,   dan
mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang  berguna  bagi
mereka.

Setelah  berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa   pengikutnya   mengadakan    perjalanan    melalui
negeri-negeri   bangsa-bangsa   tadi.   Para   pengikut  itu
tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang  dilakukan
bangsa-bangsa  itu;  dan  mereka pun berkata kepada gurunya,
"Tetapi  semua  kegiatan  itu  nyatanya   berkaitan   dengan
pembuatan  api,  bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka
itu!"

Sang  Guru  menjawab,  "Baiklah.  Kita  akan  memulai   lagi
perjalanan  ini.  Pada  akhir  perjalanan nanti, mereka yang
masih bertahan  akan  mengetahui  masalah  kebenarannya  dan
bagaimana mendekatinya."

Ketika  mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para  pendeta  mengundang  mereka
menghadiri  upacara  keagamaan,  yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang  mengagumi  apa  yang
mereka  saksikan,  guru  itu  berkata,  "Apa  ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau   kau   mau  melakukannya  atas  tanggungan  sendiri,
silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama  itupun  melangkah  ke  muka  kehadapan
pemimpin  bangsa  dan  para  pendeta itu, lalu katanya, "Aku
bisa  membuat  keajaiban   yang   kalian   katakan   sebagai
perwujudan  kekuatan  dewa  itu. Kalau aku kerjakan hal itu,
maukah  kalian  menerima  kenyataan   bahwa   bertahun-tahun
lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi  para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang
itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir  itu  melanjutkan  perjalanan,  dan  sampai  di
negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Ada lagi seorang pengikut  yang  memberanikan  diri  mencoba
menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan  izin  gurunya  ia  berkata,  "Saya  mohon izin untuk
berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa  yang  berakal.
Kalian  memuja  alat-alat  untuk  membuat sesuatu, dan bukan
hasil  pembuatan  itu.  Dengan   demikian   kalian   menunda
kegunaannya.  Saya  tahu  kenyataan  yang  mendasari upacara
ini."

Bangsa itu terdiri  dari  orang-orang  yang  lebih  berakal.
Tetapi  mereka  berkata  kepada pengikut kedua itu, "Saudara
diterima baik sebagai musafir  dan  orang  asing  di  antara
kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah
dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami  kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha
membuang atau mengganti agama kami. Karena  itu  kami  tidak
mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika  mereka  sarnpai  ke  negeri  bangsa  ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap  rumah  terpancang  patung  Nur,
orang  pertama  yang  membuat  api.  Pengikut ketiga berkata
kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin  begitu,"  jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang  mau  mengerti,  bukan  bagi
mereka  yang  menolak  menghadapi  kenyataan," kata pengikut
ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang  bahkan
tak  bisa  mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta  yang   ditahbiskan   menurut   adat   kami,"   kata
pendeta-pendeta   itu.   Dan  pengikut  darwis  itupun  bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di  negeri
bangsa   keempat.   Kini  pengikut  keempat  maju  ke  depan
kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu  benar,  dan  saya  tahu  bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan  timbul  dalam  bangsa  itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok.  Beberapa  orang  berkata,  "Itu  mungkin
benar,  dan  kalau  memang  demikian,  kita ingin mengetahui
bagaimana cara membuat api." Ketika  orang-orang  ini  diuji
oleh  Sang  Guru  dan  pengikutnya,  ternyata sebagian besar
ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri  saja,  dan
tidak   menyadari   bahwa   bisa  bermanfaat  bagi  kemajuan
kemanusiaan.  Begitu  dalamnya  dongeng-dongeng  keliru  itu
merasuk  ke  dalam  pikiran  orang-orang itu sehingga mereka
yang mengira dirinya  mewakili  kebenaran  sering  merupakan
orang-orang  yang  goyah,  yang  tidak akan juga membuat api
bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata,  "jelas  dongeng  itu  tidak
benar.  Orang  itu  hanya  berusaha  membodohi kita, agar ia
mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu
tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa
kita.  Kalau  kita  tinggalkan  dongeng  itu,  dan  kemudian
ternyata  penafsiran  baru  itu tak ada gunanya, apa jadinya
dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi,  sampai  ke  negeri  bangsa
yang  kelima;  di  sana pembuatan api dilakukan sehari-hari,
dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,

"Kalian harus belajar cara  mengajar,  sebab  manusia  tidak
ingin  diajar.  Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka
bahwa masih ada  saja  hal  yang  harus  dipelajari.  Mereka
membayangkan  bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin
mempelajari apa  yang  mereka  bayangkan  harus  dipelajari,
bukan  apa  yang  pertama-tama  harus mereka pelajari. Kalau
kalian  telah  mempelajari  ini  semua,  kalian  baru   bisa
mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa
untuk  mengajarkannya  tidak  sama  dengan  pengetahuan  dan
kemampuan."

Catatan

Untuk  menjawab  pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad
al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia  yang  daya  pahamnya  begitu
tumpul  sehingga  ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan
atau   merasakan   sesuatu   yang   hanya   dipahami   lewat
pengembangan  dan  penerapan  terus-menerus  terhadap  usaha
mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa  dan  Yesus,  atau  karena  mereka
sangat  tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri
mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka
berbicara dan bertindak."

Menurut  cerita  darwis,  ia dituduh menyebarkan Kristen dan
orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen  karena
menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.

Ia pendiri kaum Badawi Mesir.

No comments:

Post a Comment

Assalamualaikum.. Temen2 jangan lupa Komentar na ^_^