Pada zaman jahiliyah, jika melewati
suatu lembah orang-orang Arab biasa minta perlindungan kepada jin yang
menguasai lembah tersebut dari gangguan jin-jin jahat. Perbuatan itu
termasuk kemusyrikan. Karena meminta perlindungan (isti’adzah)
dari musibah-musibah termasuk jenis doa, sedangkan doa termasuk ibadah.
Maka mempersembahkan ibadah kepada selain Allah merupakan kemusyrikan.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Para ulama telah
sepakat bahwa tidak boleh isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah.” (Fathul Majid, hlm. 146, penerbit: Dar Ibni Hazm).
Allah Ta’ala memberitakan perbuatan orang-orang jahiliyah itu di dalam firman-Nya,
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al-Qar’awi berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan keharaman isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, oleh karena itulah isti’adzah merupakan ibadah, dan mempersembahkan ibadah kepada selain Allah merupakan kemusyrikan”. (Al-Jadid Syarh Kitab At-Tauhid, hlm. 121).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi berkata, “Bahwa keadaan sesuatu yang menghasilkan manfaat duniawi, yang berupa tertolaknya keburukan atau datangnya kebaikan, tidaklah menunjukkan bahwa hal itu tidak termasuk syirik.” Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan perkataan di atas dengan mengatakan, “Makna perkataan beliau: bahwa sesuatu itu terkadang termasuk syirik, walaupun padanya menghasilkan manfaat bagimu. Maka terjadinya manfaat tidaklah memastikan ketiadaan syirik. Manusia memang terkadang mendapatkan manfaat dengan sesuatu yang syirik. Cotohnya: Jin terkadang dapat melindungimu, tetapi (minta perlindungan kepada jin) ini merupakan syirik, walaupun padanya terdapat manfaat. Contoh lainnya: Seseorang terkadang bersujud kepada raja, lalu raja itu memberikan berbagai harta benda dan istana-istana kepadanya. Ini merupakan syirik, walaupun padanya terdapat manfaat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/258; karya Syaikh Al-‘Utsaimin).
Imam Ibnu Katsir membawakan beberapa penjelasan para ahli tafsir tentang ayat ini. Di antaranya sebagai berikut.
As-Suddi mengatakan, “Dahulu seorang laki-laki keluar dengan keluarganya, lalu mendatangi suatu tempat, lalu singgah di di sana, lalu dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada tuan (penguasa) lembah ini dari jin yang menggangguku atau hartaku, atau anakku atau ternakku.’”
Ikrimah mengatakan, “Dahulu jin merasa takut -atau lebih takut- kepada manusia sebagaimana manusia takut kepada jin. Jika mereka (manusia) singgah di suatu lembah, jin lari. Lalu pemimpin rombongan manusia itu mengatakan, ‘Kami berlindung kepada tuan (penguasa jin) yang tinggal di lembah ini.’ Maka jin mengatakan, “Kita melihat mereka (manusia) takut kepada kita sebagaimana kita takut kepada mereka.” Kemudian jin mendekati manusia dan menimpakan kegilaan kepada mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Jin: 6).
Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi mengatakan, “Tidak boleh isti’adzah (minta perlindungan) kepada jin, karena Allah Ta’ala telah mencela orang-orang kafir terhadap hal itu –lalu beliau menyebutkan ayat 6 surat Al-Jin- dan Allah juga berfirman,
Adapun manusia mendapatkan kesenangan dari jin yaitu: di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, melaksanakan perintah-perintahnya, dan memberitahukan sesuatu dari perkara-perkara yang ghaib. Sedangkan jin mendapatkan kesenangan dari manusia yaitu: pengangungan manusia kepada jin, isti’adzah (minta perlindungan) manusia kepada jin, dan ketundukan manusia kepada jin.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 146, penerbit: Dar Ibni Hazm).
Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa menyembelih binatang untuk setan, berdoa kepadanya, ber-isti’adzah (minta perlindungan) kepadanya, mendekatkan diri kepadanya dengan apa yang disukai olehnya, maka dia telah menyembah (beribadah kepada) setan. Walaupun dia menamakannya dengan istikhdam (mencari pelayanan/ khadam). Dan dia memang benar, itu adalah istikhdam dari setan terhadapnya, sehingga dia menjadi termasuk para khadam (pelayan) dan penyembah setan, dan dengan itulah setan melayaninya (menjadi khadam-nya). Tetapi pelayanan setan terhadapnya bukanlah pelayanan ibadah (ketundukan), karena setan tidak akan tunduk kepadanya dan tidak akan menyembahnya, sebagaimana dia lakukan terhadap setan”. (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 147, penerbit: Dar Ibni Hazm).
MACAM-MACAM ISTI’ADZAH
Sesungguhnya agama Islam tidaklah melarang sesuatu kecuali memberi ganti dengan yang lebih baik. Oleh karena itulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada umatnya berbagai doa isti’adzah sebagai ganti isti’adzah kepada makhluk atau kepada jin yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Untuk lebih jelasnya kita lihat di sini bermacam-macam isti’adzah yang dijelaskan oleh para ulama kita:
1-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada Allah. Ini termasuk ibadah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dengan keyakinan kesempurnaan penjagaan-Nya dari segala keburukan, yang sedang terjadi atau akan terjadi, yang besar atau yang kecil, dari manusia, syaithon, atau makhluk yang lainnya. Seperti yang Allah perintahkan di dalam surat Al-Falaq, An-Naas, ta’awudz, dan lainnya.
2-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada sifat-sifat Allah. Ini juga disyariatkan, dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sifat Allah bukanlah makhluk. Contoh hal ini adalah:
3-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada makhluk dalam perkara yang makhluk mampu melakukannya. Ini boleh hukumnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
4-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada makhluk dalam perkara yang makhluk tidak mampu melakukannya. Ini tidak boleh, dan termasuk syirik. Contohnya: isti’adzah kepada orang-orang yang telah mati; atau kepada orang yang hidup tetapi tidak ada di hadapannya dan tidak mampu, termasuk isti’adzah kepada jin. (Lihat: Syarah Ushul Tsalatsah, hlm. 63-65; Al-Qaulul Mufid, 1/256; keduanya karya Syaikh Al-‘Utsaimin)
Dengan penjelasan ini, menjadi jelas mana isti’adzah yang merupakan ibadah, dan yang merupakan kemusyrikan. Wallahul Musta’an.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsary (Pendiri dan Pengajar Ma’had Ibnu Abbas As-Salafy, Masaran, Sragen dan Anggota Sidang Redaksi Majalah As-Sunnah)
sumber
Allah Ta’ala memberitakan perbuatan orang-orang jahiliyah itu di dalam firman-Nya,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ اْلإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa (ketakutan).” (QS. Al-Jin: 6).Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al-Qar’awi berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan keharaman isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, oleh karena itulah isti’adzah merupakan ibadah, dan mempersembahkan ibadah kepada selain Allah merupakan kemusyrikan”. (Al-Jadid Syarh Kitab At-Tauhid, hlm. 121).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi berkata, “Bahwa keadaan sesuatu yang menghasilkan manfaat duniawi, yang berupa tertolaknya keburukan atau datangnya kebaikan, tidaklah menunjukkan bahwa hal itu tidak termasuk syirik.” Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan perkataan di atas dengan mengatakan, “Makna perkataan beliau: bahwa sesuatu itu terkadang termasuk syirik, walaupun padanya menghasilkan manfaat bagimu. Maka terjadinya manfaat tidaklah memastikan ketiadaan syirik. Manusia memang terkadang mendapatkan manfaat dengan sesuatu yang syirik. Cotohnya: Jin terkadang dapat melindungimu, tetapi (minta perlindungan kepada jin) ini merupakan syirik, walaupun padanya terdapat manfaat. Contoh lainnya: Seseorang terkadang bersujud kepada raja, lalu raja itu memberikan berbagai harta benda dan istana-istana kepadanya. Ini merupakan syirik, walaupun padanya terdapat manfaat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/258; karya Syaikh Al-‘Utsaimin).
Imam Ibnu Katsir membawakan beberapa penjelasan para ahli tafsir tentang ayat ini. Di antaranya sebagai berikut.
As-Suddi mengatakan, “Dahulu seorang laki-laki keluar dengan keluarganya, lalu mendatangi suatu tempat, lalu singgah di di sana, lalu dia mengatakan, ‘Aku berlindung kepada tuan (penguasa) lembah ini dari jin yang menggangguku atau hartaku, atau anakku atau ternakku.’”
Ikrimah mengatakan, “Dahulu jin merasa takut -atau lebih takut- kepada manusia sebagaimana manusia takut kepada jin. Jika mereka (manusia) singgah di suatu lembah, jin lari. Lalu pemimpin rombongan manusia itu mengatakan, ‘Kami berlindung kepada tuan (penguasa jin) yang tinggal di lembah ini.’ Maka jin mengatakan, “Kita melihat mereka (manusia) takut kepada kita sebagaimana kita takut kepada mereka.” Kemudian jin mendekati manusia dan menimpakan kegilaan kepada mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Jin: 6).
Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi mengatakan, “Tidak boleh isti’adzah (minta perlindungan) kepada jin, karena Allah Ta’ala telah mencela orang-orang kafir terhadap hal itu –lalu beliau menyebutkan ayat 6 surat Al-Jin- dan Allah juga berfirman,
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الإِنسِ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ اْلإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَآ أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلَتْ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَآ إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.’ Lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari pada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat tinggal kamu, dan kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 128).Adapun manusia mendapatkan kesenangan dari jin yaitu: di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, melaksanakan perintah-perintahnya, dan memberitahukan sesuatu dari perkara-perkara yang ghaib. Sedangkan jin mendapatkan kesenangan dari manusia yaitu: pengangungan manusia kepada jin, isti’adzah (minta perlindungan) manusia kepada jin, dan ketundukan manusia kepada jin.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 146, penerbit: Dar Ibni Hazm).
Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Barangsiapa menyembelih binatang untuk setan, berdoa kepadanya, ber-isti’adzah (minta perlindungan) kepadanya, mendekatkan diri kepadanya dengan apa yang disukai olehnya, maka dia telah menyembah (beribadah kepada) setan. Walaupun dia menamakannya dengan istikhdam (mencari pelayanan/ khadam). Dan dia memang benar, itu adalah istikhdam dari setan terhadapnya, sehingga dia menjadi termasuk para khadam (pelayan) dan penyembah setan, dan dengan itulah setan melayaninya (menjadi khadam-nya). Tetapi pelayanan setan terhadapnya bukanlah pelayanan ibadah (ketundukan), karena setan tidak akan tunduk kepadanya dan tidak akan menyembahnya, sebagaimana dia lakukan terhadap setan”. (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 147, penerbit: Dar Ibni Hazm).
MACAM-MACAM ISTI’ADZAH
Sesungguhnya agama Islam tidaklah melarang sesuatu kecuali memberi ganti dengan yang lebih baik. Oleh karena itulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada umatnya berbagai doa isti’adzah sebagai ganti isti’adzah kepada makhluk atau kepada jin yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Untuk lebih jelasnya kita lihat di sini bermacam-macam isti’adzah yang dijelaskan oleh para ulama kita:
1-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada Allah. Ini termasuk ibadah. Yaitu memohon perlindungan kepada Allah dengan keyakinan kesempurnaan penjagaan-Nya dari segala keburukan, yang sedang terjadi atau akan terjadi, yang besar atau yang kecil, dari manusia, syaithon, atau makhluk yang lainnya. Seperti yang Allah perintahkan di dalam surat Al-Falaq, An-Naas, ta’awudz, dan lainnya.
2-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada sifat-sifat Allah. Ini juga disyariatkan, dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sifat Allah bukanlah makhluk. Contoh hal ini adalah:
عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةَ تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah, dia berkata, Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempati/ singgah pada suatu tempat kemudian dia mengatakan, ‘A’uudzu bi kalimaatillaahit taammaat min syarri maa khalaq’ (artinya: Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan/ keburukan yang telah Dia ciptakan), sesuatupun tidak akan membahayakannya, sampai dia berpindah dari tempat singgahnya itu.’” (HR. Muslim, no. 2708; Tirmidzi; Ibnu Majah; Ahmad)3-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada makhluk dalam perkara yang makhluk mampu melakukannya. Ini boleh hukumnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَكُمْ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ اسْتَجَارَ بِاللَّهِ فَأَجِيرُوهُ وَمَنْ آتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barangsiapa isti’adzah (minta perlindungan) dengan menyebut Allah, maka lindungilah dia; Barangsiapa meminta kepada kamu dengan menyebut Allah, maka berilah dia; Barangsiapa minta keamanan dengan menyebut Allah, maka berilah keamanan padanya; dan barangsiapa telah berbuat baik kepadakamu, maka balaslahlah dia (dengan kebaikan), jika kamu tidak mendapatkan (sesuatu untuk membalas) maka doakanlah kebaikan untuknya sampai kamu mengetahui bahwa kamu telah membalasnya.” (HR. Nasai, no. 2567; dishohihkan Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 254).4-Isti’adzah (minta perlindungan) kepada makhluk dalam perkara yang makhluk tidak mampu melakukannya. Ini tidak boleh, dan termasuk syirik. Contohnya: isti’adzah kepada orang-orang yang telah mati; atau kepada orang yang hidup tetapi tidak ada di hadapannya dan tidak mampu, termasuk isti’adzah kepada jin. (Lihat: Syarah Ushul Tsalatsah, hlm. 63-65; Al-Qaulul Mufid, 1/256; keduanya karya Syaikh Al-‘Utsaimin)
Dengan penjelasan ini, menjadi jelas mana isti’adzah yang merupakan ibadah, dan yang merupakan kemusyrikan. Wallahul Musta’an.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsary (Pendiri dan Pengajar Ma’had Ibnu Abbas As-Salafy, Masaran, Sragen dan Anggota Sidang Redaksi Majalah As-Sunnah)
sumber
No comments:
Post a Comment
Assalamualaikum.. Temen2 jangan lupa Komentar na ^_^