Seperti tercatat dalam
torehan sejarah Islam, shalat Jumat perdana Nabi Saw. itu ternyata
beliau lakukan ketika beliau memasuki Yatsrib. Kala itu sendiri hari
Jumat. Bagaimanakah kisah shalat Jumat perdana Nabi itu?
Hari itu, Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H, kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir (tanggal 23) bulan September 622 M tengah menyengat dengan ganasnya, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Desa Quba’. Kala itu, orang-orang yang menantikan kedatangan Rasulullah Saw. dengan harap-harap cemas itu telah kembali ke rumah masing-masing dengan rasa putus asa. Tak mungkin hari ini orang yang mereka nantikan kedatangannya itu tiba di Yatsrib. Tapi, tiba-tiba seorang Yahudi berteriak-teriak nyaring, “Wahai Bani Qa’ilah! Itu orang yang kalian nantikan kedatangannya telah tiba!”
Semua orang menghambur dari rumah-rumah mereka. Rasul Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq ternyata sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon kurma. Orang-orang pun berkerumun di sekeliling beliau. Sebagian besar di antara mereka tak dapat membedakan mana Rasul Saw. dan mana Abu Bakar. Tapi, di saat bayangan pohon kurma bergeser, Abu Bakar memayungkan jubahnya di atas kepala beliau. Kini, tahulah mereka yang mana Nabi mereka.
Di Desa Quba’ itu, Rasul Saw. kemudian beristirahat di rumah seorang lelaki lanjut usia yang selama itu dijadikan pangkalan oleh kaum Muslim Makkah yang baru tiba di Yatsrib, antara lain Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah, yakni rumah Kultsum bin Hadm. Bani ‘Amr, kabilah Kultsum, adalah suku Aus. Sedangkan Abu Bakar Al-Shiddiq menuju rumah Khubaib bin Yasaf atau Kharijah bin Zaid (yang kemudian menjadi mertua Abu Bakar), seorang Khazraj di Sunh, sebuah desa yang agak dekat dengan Yatsrib. Selepas satu atau dua hari, ‘Ali bin Abu Thalib tiba dari Makkah, dan tinggal di rumah yang sama dengan Rasul Saw. Untuk mengembalikan semua barang yang dititipkan kepadanya bagi para pemiliknya, ia memerlukan waktu selama tiga hari.
Rasulullah Saw. berdiam di Desa Quba’ selama empat hari, semenjak Senin hingga Kamis. Lalu, atas saran ‘Ammar bin Yasir, beliau membangun Masjid Quba’. Inilah masjid pertama dalam sejarah Islam, dan beliau sendirilah yang meletakkan batu pertama di kiblatnya, yang kemudian diikuti oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, lalu diselesaikan beramai-ramai oleh para sahabat lainnya.
Pada Jumat pagi, Rasul Saw. meninggalkan Quba’. Di siang hari, beliau dan para sahabat berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Sebelum melaksanakan shalat bersama sekitar seratus jamaah, seusai mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., beliau berkhutbah,
“Amma ba‘du. Wahai kaum Muslim, hendaklah kalian berbuat kebajikan demi keselamatan diri kalian sendiri. Demi Allah, kalian tentu mengetahui, setiap orang di antara kalian pasti akan berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan domba-domba piaraannyya. Tuhan akan bertanya kepadanya, langsung tanpa perantara dan tiada tirai apa pun yang akan memisahkannya, ‘Apakah Utusan-Ku tak datang kepadamu untuk menyampaikan amanah-Ku? Bukankah kepadamu telah kuanugerahkan harta dan pelbagai nikmat?’Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan demi keselamatan dirimu sendiri?’
Orang yang ditanya itu akan menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia tak melihat sesuatu. Ia kemudian melihat ke depan dan yang tampak hanyalah neraka Jahannam. Karena itu, barang siapa mampu melindungi dirinya dari api neraka, walau hanya dengan sebutir buah kurma, lakukanlah! Bila tiada sesuatu apa pun yang dapat diberikan, cukuplah dengan ucapan yang baik. Sungguh, setiap kebaikan akan memperoleh balasan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa ‘ala Rasulillah.”
Sebuah khutbah sarat makna yang singkat, padat, dan sangat memikat! Inti khutbah itu ialah sejatinya manusia senantiasa kuasa berbuat kebaikan, dengan bersedekah dan memberi, walau ia seorang miskin. Beliau menyampaikan, seseorang kuasa menghindarkan diri dari neraka dan masuk surga walau hanya dengan sebutir buah kurma. Demikian halnya kata-kata yang baik pun juga dapat menghindarkan seseorang dari neraka dan masuk surga dalam timbangan Allah Swt. Dengan kata lain, kemampuan berbuat kebaikan dan memberi sejatinya terdapat pada diri setiap orang. Bagaimana pun kondisinya!
Usai melaksanakan shalat Jumat pertama kali dalam sejarah Islam, Rasul Saw. melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Yatsrib. Bani Al-Najjar, suku terkenal di kota itu dan merupakan kerabat beliau dari pihak Ibunda beliau, Aminah binti Wahb, datang dengan memanggul senjata untuk menyambut kedatangan beliau. Dan, ketika memasuki kota, beliau mendapat sambutan yang sangat meriah. Banyak orang berusaha menghentikan beliau dan mengajak beliau tinggal bersama mereka. Bagi beliau, tentu sulit untuk memutuskan. Karena itu, beliau membiarkan untanya melanjutkan perjalanan, dan mengatakan kepada khalayak ramai bahwa beliau akan tinggal di tempat berhentinya unta. Ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Unta itu lantas diurus oleh As‘ad bin Zurarah.
Abu Ayyub Al-Anshari, tentu, sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati Rasul Saw., ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar tujuh bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.
Selepas Rasul Saw. tinggal di Yatsrib, kota itu diganti namanya menjadi “Kota Nabi” (Madînah Al-Nabiy), atau “Kota nan Cemerlang” (Al-Madînah Al-Munawwarah), Thaibah, dan Thabah .
Hari itu, Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H, kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir (tanggal 23) bulan September 622 M tengah menyengat dengan ganasnya, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Desa Quba’. Kala itu, orang-orang yang menantikan kedatangan Rasulullah Saw. dengan harap-harap cemas itu telah kembali ke rumah masing-masing dengan rasa putus asa. Tak mungkin hari ini orang yang mereka nantikan kedatangannya itu tiba di Yatsrib. Tapi, tiba-tiba seorang Yahudi berteriak-teriak nyaring, “Wahai Bani Qa’ilah! Itu orang yang kalian nantikan kedatangannya telah tiba!”
Semua orang menghambur dari rumah-rumah mereka. Rasul Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq ternyata sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon kurma. Orang-orang pun berkerumun di sekeliling beliau. Sebagian besar di antara mereka tak dapat membedakan mana Rasul Saw. dan mana Abu Bakar. Tapi, di saat bayangan pohon kurma bergeser, Abu Bakar memayungkan jubahnya di atas kepala beliau. Kini, tahulah mereka yang mana Nabi mereka.
Di Desa Quba’ itu, Rasul Saw. kemudian beristirahat di rumah seorang lelaki lanjut usia yang selama itu dijadikan pangkalan oleh kaum Muslim Makkah yang baru tiba di Yatsrib, antara lain Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah, yakni rumah Kultsum bin Hadm. Bani ‘Amr, kabilah Kultsum, adalah suku Aus. Sedangkan Abu Bakar Al-Shiddiq menuju rumah Khubaib bin Yasaf atau Kharijah bin Zaid (yang kemudian menjadi mertua Abu Bakar), seorang Khazraj di Sunh, sebuah desa yang agak dekat dengan Yatsrib. Selepas satu atau dua hari, ‘Ali bin Abu Thalib tiba dari Makkah, dan tinggal di rumah yang sama dengan Rasul Saw. Untuk mengembalikan semua barang yang dititipkan kepadanya bagi para pemiliknya, ia memerlukan waktu selama tiga hari.
Rasulullah Saw. berdiam di Desa Quba’ selama empat hari, semenjak Senin hingga Kamis. Lalu, atas saran ‘Ammar bin Yasir, beliau membangun Masjid Quba’. Inilah masjid pertama dalam sejarah Islam, dan beliau sendirilah yang meletakkan batu pertama di kiblatnya, yang kemudian diikuti oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, lalu diselesaikan beramai-ramai oleh para sahabat lainnya.
Pada Jumat pagi, Rasul Saw. meninggalkan Quba’. Di siang hari, beliau dan para sahabat berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Sebelum melaksanakan shalat bersama sekitar seratus jamaah, seusai mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., beliau berkhutbah,
“Amma ba‘du. Wahai kaum Muslim, hendaklah kalian berbuat kebajikan demi keselamatan diri kalian sendiri. Demi Allah, kalian tentu mengetahui, setiap orang di antara kalian pasti akan berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan domba-domba piaraannyya. Tuhan akan bertanya kepadanya, langsung tanpa perantara dan tiada tirai apa pun yang akan memisahkannya, ‘Apakah Utusan-Ku tak datang kepadamu untuk menyampaikan amanah-Ku? Bukankah kepadamu telah kuanugerahkan harta dan pelbagai nikmat?’Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan demi keselamatan dirimu sendiri?’
Orang yang ditanya itu akan menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia tak melihat sesuatu. Ia kemudian melihat ke depan dan yang tampak hanyalah neraka Jahannam. Karena itu, barang siapa mampu melindungi dirinya dari api neraka, walau hanya dengan sebutir buah kurma, lakukanlah! Bila tiada sesuatu apa pun yang dapat diberikan, cukuplah dengan ucapan yang baik. Sungguh, setiap kebaikan akan memperoleh balasan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa ‘ala Rasulillah.”
Sebuah khutbah sarat makna yang singkat, padat, dan sangat memikat! Inti khutbah itu ialah sejatinya manusia senantiasa kuasa berbuat kebaikan, dengan bersedekah dan memberi, walau ia seorang miskin. Beliau menyampaikan, seseorang kuasa menghindarkan diri dari neraka dan masuk surga walau hanya dengan sebutir buah kurma. Demikian halnya kata-kata yang baik pun juga dapat menghindarkan seseorang dari neraka dan masuk surga dalam timbangan Allah Swt. Dengan kata lain, kemampuan berbuat kebaikan dan memberi sejatinya terdapat pada diri setiap orang. Bagaimana pun kondisinya!
Usai melaksanakan shalat Jumat pertama kali dalam sejarah Islam, Rasul Saw. melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Yatsrib. Bani Al-Najjar, suku terkenal di kota itu dan merupakan kerabat beliau dari pihak Ibunda beliau, Aminah binti Wahb, datang dengan memanggul senjata untuk menyambut kedatangan beliau. Dan, ketika memasuki kota, beliau mendapat sambutan yang sangat meriah. Banyak orang berusaha menghentikan beliau dan mengajak beliau tinggal bersama mereka. Bagi beliau, tentu sulit untuk memutuskan. Karena itu, beliau membiarkan untanya melanjutkan perjalanan, dan mengatakan kepada khalayak ramai bahwa beliau akan tinggal di tempat berhentinya unta. Ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Unta itu lantas diurus oleh As‘ad bin Zurarah.
Abu Ayyub Al-Anshari, tentu, sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati Rasul Saw., ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar tujuh bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.
Selepas Rasul Saw. tinggal di Yatsrib, kota itu diganti namanya menjadi “Kota Nabi” (Madînah Al-Nabiy), atau “Kota nan Cemerlang” (Al-Madînah Al-Munawwarah), Thaibah, dan Thabah .
sumber
SHOLAT DZHURU TETAP ADA SEHABIS JUM'AT, KARENA DALAM AL-QURAN TIDAK DI SEBUTKAN SHOLAT JUM'AT ,TETAPI HANYA SHOLAT 5 WAKTU WAJIB, JANGNA DI GANTIKAN SHOLAT DZUHUR ITU DENGAN SHOLAT JUM'AT, KARENA KEBERANYA BELUM TENTU BENAR, LAKUKANLAH SUA SUA, KERJAKAN SHOLAT JUM'AT DAN KERJAKAN SHOLAT DHZUHUR SEHABIS JUM'AT, DAN ITU BAIK UNTUKMU DAN SEMUANYA, KARENA ITU JLAAN YANG BENAR, JANGAN MEMPER SULIT YANG TAK SULIT,
ReplyDeletejustru ENTE yg mmprsulit prkra yg sdh jelas2 mudah. klo mmang sdh sempurna syarat rukunnya knp lg mesti sholat zhuhur. mkanya mondok yang lama
ReplyDeleteboleh minta daftar pustakanya ..
ReplyDelete